
Jika ada yang bertanya ke saya, apakah ada rencana ke depan hendak mengembangkan Just Try and Taste menjadi lebih sophisticated, eye catching, terkenal, menarik, atau membuka lebih banyak opportunity ke bidang lain sehingga menghasilkan lebih banyak pundi-pundi uang, maka jawaban saya adalah tidak. Okeh, mungkin bagian terakhir tidak sepenuhnya tidak, karena siapa sih yang tidak ingin menambah penghasilan? Tapi jujur saya tidak bersemangat membuat blog ini lebih maju. Saya bahkan saat ini tidak bersemangat hendak mencoba aneka resep kekinian atau yang sedang heboh di post di Instagram dan media lainnya, demi menjaring lebih banyak view atau follower.
Swear, saat ini saya menjalani hidup tanpa ngoyo, melakukan apa yang saya suka dan bukan karena tuntutan seseorang atau sesuatu. Bahkan rencana jangka panjang saya sangat, sangat simple, sederhana dan mungkin bagi kebanyakan orang sama sekali tidak menarik. Saya ingin one day tinggal di polosok desa nan sepi, hidup tenang dalam sebuah rumah kecil, mengerjakan hobi yang segambreng banyaknya dan seminim mungkin berinteraksi dengan manusia lain. Saya bukan orang yang introvert, justru kebalikannya, tapi saya suka dengan kesendirian. Interaksi dengan manusia lain menurut saya membuat kepala pusing, menimbulkan masalah baru dan terkadang menjadikan hidup lebih ribet. Jadi ketika Covid 19 meraja, social distancing digencarkan dan karyawan kantoran dituntut untuk bekerja dari rumah, saya seakan menemukan dunia sendiri.


Saya terkadang bingung dengan rekan-rekan kantor yang merasa mati gaya jika terlalu lama mendekam di rumah. Padahal saya merasa fine-fine saja lebih dari seminggu diam di rumah tanpa perlu menginjakkan kaki di luar gerbang sekalipun, dan semua kebutuhan saya diantarkan melalui jasa online shop. Okeh memang sesekali terasa boring juga, tapi rasa bosan ini bukan karena kurangnya interaksi dengan manusia lain melainkan kehilangan kesempatan untuk traveling, jalan di mal dan kongkow di kafe atau resto. Yep, saya sering duduk sendiri di kafe atau resto hanya ditemani dengan handphone, dan bagi saya sih asyik-asyik saja. Saya bisa memesan makanan yang disuka sebanyak atau sesedikit yang saya mau tanpa perlu mempertimbangkan perasaan atau kesukaan manusia lain, dan saya bisa menggasaknya semua sendiri tanpa harus merasa feeling guilty ketika teman menatap dengan tatapan horor. Sungguh, tatapan horor seperti ini membuat nafsu makan drop drastis.
Di rumah, sendiri, saya bisa melakukan banyak hal, untungnya saya orang yang susah kehilangan minat dan hobi. Hobi dan minat saya begitu segambreng, terkadang saya merasa waktu terasa kurang untuk mewujudkannya. Mungkin hobi dan minat itu tidak berguna, atau tidak menghasilkan uang tapi justru menghamburkan uang dan hanya membuang waktu. Tapi sejak kapan minat dan hobi harus menghasilkan uang? Bagaimana jika minat dan hobi itu memberikan kebahagiaan, membuat mental menjadi lebih sehat, dan hidup bersemangat? Bukankah itu lebih berharga dari uang sebanyak apapun yang dunia ini bisa berikan? Jadi saya enjoy saja melakukan hal yang saya suka, seperti membaca novel romance tak bermutu yang tak mendidik dan tak membuat cerdas juga; menonton serial komedi di You Tube yang membuat terbahak-bahak sendiri dan menghabiskan kuota internet; berkebun dan menghamburkan uang membeli pot, media tanah, dan benih, padahal hasilnya hingga sekarang belum bisa dipanen; menulis puluhan judul novel yang satu pun belum ada yang berhasil mencapai kata tamat; menulis blog selama 10 tahun dan blog ini bahkan belum menghasilkan rupiah sesen pun. See, tak ada yang berguna dan bermanfaat, tapi saya happy mengerjakannya.


Kembali ke konsep self sustainable dan menyepi, ternyata saya tidak sendirian dengan pemikiran ini. Semakin banyak orang di seluruh dunia yang ingin hidup menyepi, mengasingkan diri dari manusia lainnya, lebih dekat ke alam dan tidak tergantung dengan manusia lain. Apalagi sejak Covid 19 mewabah seperti saat ini, dimana interaksi dengan manusia lain justru membawa musibah. Di luar negeri, bahkan di negara maju, makin banyak manusia perkotaan yang hidup di pedesaan, memelihara ternak dan berkebun. Semakin banyak yang bercocok tanam di halaman atau bahkan memanfaatkan teras secuplik di rumah dan apartemen, terbukti dengan semakin banyaknya channel homesteading dan gardening di You Tube. Saya cukup mengetahui hal ini karena channel-channel inilah yang saya ikuti dan subscribed. Produsen benih dan bibit tanaman sayuran di banyak negara bahkan banyak yang kehabisan stok karena permintaan yang sangat tinggi. Mungkin ini terjadi karena banyak orang yang mengisi waktu dengan berkebun di masa karantina dan lock down, atau karena ingin hidup lebih self sustainable, alias bisa memproduksi sebagian bahan makanan sendiri karena ketakutan produsen bahan makanan kekurangan stoknya. Saya suka dengan konsep self sustainable, tidak tergantung dengan manusia lain, artinya semakin minim interaksi.😆

Yang jadi kendala utama dengan konsep ini adalah tingkat keamanan jika tinggal sendirian di daerah terpencil terutama di Indonesia, dan kendala berikutnya adalah skill do it yourself, alias mengerjakan urusan rumah semuanya sendiri. Youtuber asing yang banyak saya tonton videonya rata-rata memiliki kemampuan bertukang yang sangat mumpuni, termasuk skill mengawetkan segala macam bahan makanan yang mereka hasilkan dari kebun. Proses mengawetkan makanan mungkin tidak terlalu menjadi pikiran, karena di negara kita bercocok tanam bisa dilakukan kapan saja, tidak mengenal musim. Tapi faktor keamanan dan skill bertukang bisa menjadi masalah besar. Saya mungkin bisa membarikade penjuru rumah dan halaman dengan pagar tinggi dan kawat berduri, tapi apakah itu menjamin perampok atau maling tidak bisa menerobos masuk? Saya mungkin bisa memanggil tukang untuk membetulkan atap atau pipa air yang rusak, tapi apakah semudah itu mencari tukang yang bisa dipercaya? Jadi untuk cita-cita hidup di desa nan sepi tersebut harus diimbangi dengan kemampuan bela diri dan skill bertukang. Saya garuk-garuk kepala sendiri memikirkannya.
Saya teringat dulu ketika di sekolah dasar pernah bergabung di klub pencak silat abal-abal. Bukan, bukan Merpati Putih, tapi nama perguruannya adalah Kera Sakti. Yep, silahkan tertawa. Saat itu, gara-gara serial radio Tutur Tinular, maka pencak silat menjadi sangat populer termasuk di desa saya, Paron. Sepupu saya, Dwi, yang mengenalkan klub ini, dan saya bersama puluhan bocah-bocah lainnya join disana belajar menjadi Brama Kumbara dan Mantili atau mungkin si jahat Lasmini. Pertarungan pertama saya hingga kini jika diingat selalu membuat ngakak hingga sesak nafas dengan muka merah panas menahan malu. Karena peristiwa itu memang memalukan! Hari pertama bergabung di klub, mentor kami (saya lupa namanya) meminta semua anak mencari pasangan tanding dan bertarung. Sounds crazy, karena bagaimana mungkin kami bisa bertarung jika skill mendasar seperti sikap kuda-kuda saja tidak diajarkan? Saya mendapat lawan sesama gadis kecil sebaya hanya bertubuh lebih bongsor. Saat SD, tubuh saya kecil, kurus kering karena kurang gizi dan sering sakit-sakitan.
Ketika kata aba-aba ‘mulai’ dibentakkan, kami merangsek maju. Anak-anak yang lebih dulu join di klub bertempur gagah berani menggunakan berbagai jurus kera sakti, sementara saya yang baru detik itu merasakan apa namanya berkelahi secara fisik hanya mengandalkan tamparan, tendangan, cubitan dan jambak-menjambak. Tobat, sama sekali tidak lucu, walau jika dilihat mampu membuat ngakak. Itu salah satu peristiwa terkelam dalam hidup saya, dan saya ingat si mentor (saya menyesal sempat kesengsem dengan dia) tertawa terbahak-bahak memegang perutnya. Hari itu juga saya mengundurkan diri dari klub, dan Ibu saya ngamuk-ngamuk karena baju pencak silat plus sabuk kuningnya hanya dipakai satu hari saja. Jadi belajar bela diri walau sangat bermanfaat terutama jika ingin hidup soliter menyepi, bukanlah perkara mudah untuk dijalankan. Kembali lagi, dengan segala banyak masalah di atas saya tetap persisten hingga detik ini ingin mewujudkan mimpi tersebut. Hm, mungkin tidak terlalu menyepi dan jauh dari peradaban, tapi yang jelas harus cukup jauh dari tetangga lainnya. 😏

Menuju ke resep. Nasi ayam ini menu maknyus yang saya suka buat jika ngidam nasi kumat. Swear, saya berusaha mati-matian menghindar karbo, tapi nasi (putih!) agak susah dihindari. Jika dua minggu tanpa nasi maka hari pertama minggu ketiga saya seakan kerasukan dan menggasaknya hingga sepanci penuh rice cooker. Kecanduan nasi sama parahnya dengan kecanduan gula pasir. Resepnya masih mirip-mirip dengan nasi ayam Hainan yang pernah saya share sebelumnya, kunci lezat masakan ini adalah banyaknya bawang putih, jahe, dan serai yang akan membuat harum masakan, plus daun pandan yang akan memberikan aroma spesial. Bisa menggunakan ayam kampung (akan lebih maknyus dan gurih), tapi dengan ayam negeri pun mantap.
Selain saus sambal di bawah, nasi ayam biasanya juga ditemani dengan saus jahe bawang. Membuatnya sangat mudah, cukup blender bawang putih, jahe dan daun bawang (bagian yang hijau) hingga halus kemudian siram dengan minyak panas. Tambahkan garam dan sedikit gula pasir sesuai selera.
Berikut prosesnya ya.

Chicken Rice
Resep modifikasi sendiri
Untuk 4 porsi
Tertarik dengan nasi dan ayam lainnya? Silahkan klik link di bawah ini:
Bahan ayam:
– 1 ekor ayam kampung, berat sekitar 1 kg
– 1 sendok teh garam
– 1 sendok teh merica bubuk
Bumbu dihaluskan:
– 6 siung bawang merah
– 5 siung bawang putih
– 3 cm jahe
– 2 batang serai ambil bagian putihnya, sisihkan bagian hijaunya untuk memasak nasi
– 1/2 sendok garam
– 1/2 sendok teh merica bubuk
– 1 sendok teh kaldu bubuk
Bahan nasi dan bumbu nasi:
– 1 sendok makan minyak untuk menumis
– 1 sendok makan minyak wijen
– 600 gram beras, cuci bersih dan tiriskan
– 400 ml air
– 3 lembar daun pandan, disimpul
– bagian batang serai yang hijau
– air kaldu sisa mengukus ayam
Bahan sambal:
– 20 buah cabai rawit merah
– 3 siung bawang putih
– 1 buah jeruk nipis peras airnya
– 1/2 sendok teh garam
– 50 ml air matang
Memasak ayam:

Siapkan ayam, gunting bagian punggungnya dan pentangkan. Cuci bersih ayam, tiriskan, keringkan permukaannya dengan tisu dapur. Taburi permukaannya dengan garam dan merica bubuk secara merata. Olesi permukaannya dengan 1 1/2 sendok makan bumbu yang dihaluskan secara merata.
Masukkan ayam ke kulkas dan marinade minimal 4 jam atau semalaman. Letakkan ayam di sebuah loyang, kukus selama 40 menit atau hingga ayam matang. Keluarkan ayam dari kukusan. Tuangkan kaldu ayam yang keluar saat mengukus ayam di wadah lainnya (kita akan menggunakan air kaldu ini untuk memasak nasi).
Masukkan ayam ke oven, set suhu di 200’C dan panggang selama 25 menit hingga permukaan ayam kecoklatan. Keluarkan ayam dari oven, olesi permukaannya dengan minyak wijen, potong ayam sesuai selera dan sisihkan.
Memasak nasi:

Masukkan beras yang telah dicuci ke panci rice cooker. Masukkan juga batang serai yang hijau dan daun pandan, sisihkan.
Siapkan wajan, panaskan 1 sendok makan minyak untuk menumis dan minyak wijen. Tumis bumbu halus yang masih tersisa hingga harum dan matang. Angkat tumisan dan tuangkan ke panci rice cooker berisi beras. Tambahkan air kukusan ayam dan 400 ml air, aduk rata. Masak beras hingga matang, jika telah matang aduk nasi dengan baik, cicipi rasanya jika kurang asin tambahkan garam sesuai selera.
Membuat sambal:

Rebus cabai rawit dan bawang putih hingga matang. Tiriskan, sisihkan air rebusannya sebanyak 50 ml. Tuangkan rebusan cabai bawang dan air rebusan yang disisihkan ke blender dry mill. Proses hingga halus. Tuangkan ke mangkuk, tambahkan air jeruk nipis dan garam.
Sajikan nasi, ayam dan sambalnya. Super sedap!