
Gajian setiap tanggal 25 seakan hanya numpang lewat saja dari rekening saya, saking banyaknya cicilan yang harus dibayar. Swear, saya mulai merasa sesak nafas tiap kali melihat gaji hanya mendekam 10 menit saja di dalam rekening, dan detik berikutnya sudah ditransfer ke aneka kewajiban seperti cicilan KPR, listrik, telepon, internet dan lain sebagainya dan lain sebagainya. Kapan ya bisa merasakan gaji utuh tiap bulan dan uang tersebut tidak mengalir keluar untuk membayar hutang, benar-benar digunakan hanya untuk kesenangan diri? Hm, tapi dulu ketika usia masih kepala dua, saya seperti itu. Tak memikirkan masa depan, tak memikirkan masa tua, tak memikirkan mengumpulkan asset atau menabung. Uang gaji dipakai untuk membeli aneka barang kesenangan diri seperti sepatu, tas, pakaian dan pernak-pernik aksesoris penunjang penampilan kerja. Setiap kali jalan ke mal, ujung-ujungnya singgah ke toko pakaian atau sepatu dan pulang dengan membawa tentengan. Gaji lenyap begitu saja, dan hanya berakhir menjadi tumpukan pakaian dan sepatu di lemari dan pada akhirnya tidak dipakai juga. Sampai akhir usia kepala tiga, saya tak punya asset sepotong pun!


Saat itu saya sama sekali tidak tertarik mencicil rumah. Membayangkan masa cicilan yang panjang puluhan tahun membuat hati ini berat. Pikiran saya saat itu, betapa hidup penuh dengan tekanan ketika dibebani dengan hutang jangka panjang. Saya tidak bisa resign dari kantor sesuka yang dimau karena ada kewajiban tiap bulan yang harus dibayar. Itu pemikiran saya dulunya. Padahal semakin saya mengulur waktu membeli rumah atau tanah maka harganya akan semakin mahal dan usia semakin menua, artinya jika harus membeli dengan mencicil (karena cash jelas tidak mungkin!), maka jangka waktunya tidak bisa panjang. Maksimal cicilan KPR adalah usia pensiun yaitu 55 tahun, semakin telat saya memulai membeli rumah dengan fasilitas pinjaman bank ini maka jangka waktu cicilan akan semakin pendek dan cicilan bulanan yang harus dibayarkan akan semakin besar, apalagi jika DP rumah sangat kecil. Saya bahkan tak punya tabungan yang layak untuk dijadikan down payment, hingga Ibu saya geleng-geleng kepala melihat kelakuan anaknya. “Nduk, nduk, itu kerja belasan tahun uangnya kemana? Kok gak ada bentuknya sama sekali?” Bahkan sebuah sepeda motor pun tak ada. Parah memang!
Pada akhirnya, saya tersadar, mungkin karena usia semakin menua dan mulai berpikir, “Apa yang akan kamu lakukan kelak setelah usia pensiun Ndang?” Atau mungkin rasa jealous ketika mendengar rekan kantor yang usianya jauh lebih muda sudah berhasil menyelesaikan cicilan KPR 10 tahunnya. Saya tergagap, terperanjat dan mulai tergebah. Detik itu juga hidup saya mulai fokus dengan urusan membeli rumah. Fast forward, setelah perjuangan panjang bergerilya sana dan sini mencari rumah idaman, saya berhasil bergabung dengan jutaan KPRers lainnya dan melakukan kegiatan mencicil dan mencicil dan mencicil, untuk kasus saya, selama 15 tahun lamanya. Saat itu saya tak peduli hidup akan terbebani hutang besar, atau gaji sebagian besar tidak akan bisa dinikmati setiap bulannya. Saya justru terpacu untuk mengumpulkan asset lagi dan melakukan pembelian apartemen kecil di daerah Cisauk. Kali ini apartemen ini dicicil melalui developer selama 5 tahun. Cicilan bulanannya tidak sebesar rumah, tapi jika keduanya diakumulasikan cukup membuat begah. Gubrak!

Cicilan memang menyesakkan, demi bisa survived maka saya stop kegiatan membeli pakaian, baju dan tas, atau urusan penampilan seperti ini lainnya. Jika dulu, salon dan spa adalah kenikmatan hakiki yang harus di-provide setiap bulan maka kini saya gunting sendiri rambut panjang ini dan gosok badan dengan scrub yang dibeli di online shop. Untungnya rambut panjang saya ini berbentuk layer yang tidak harus terlihat rapi jali garis potongannya, versi salon atau versi homemade gak ada bedanya (atau menurut saya seperti itu 😐). Saya cukup membeli gunting bergerigi yang biasa dipakai untuk memotong poni dan ujung-ujung rambut agar tampak seperti layer, kemudian nonton deh tutorial video di You Tube, beres.
Lima tahun hampir berlalu, kondisi saya masih seperti ini saja, tidak ada perubahan berarti kecuali mungkin sedikit lebih buluk karena faktor U, tapi cicilan apartemen hampir selesai. Saya berpikir jika saja saat itu tidak diniatkan hati mengambil apartemen maka saya yakin uang cicilan itu akan lenyap setiap bulannya menjadi barang tak jelas, tak berwujud, atau hanya berupa tumpukan pakaian dan barang yang tak berharga lainnya. Bahkan seandainya saja uang itu saya investasikan dalam bentuk saham atau tabungan seperti deposito bank, saya yakin akan habis dipakai juga untuk membeli hal-hal tak jelas. Tapi memaksakan diri mencicil asset yang sulit dijual seperti rumah, apartemen, atau tanah akhirnya membuat saya bisa memilikinya. Time goes by so fast, cicilan itu akan berakhir. Saya tidak katakan waktu tersebut tidak berasa, karena sangat berasa, tapi saya masih bisa survived. Saya bahkan berpikir ketika tahun ini cicilan apartemen selesai, saya bermaksud hendak mencicil mobil mungkin untuk jangka waktu 2 atau 3 tahun. Karena jika uang tersebut didiamkan begitu saja di dalam rekening, alamat akan lenyap tak bersisa seperti dulu.
Jika anda masih muda, sudah memiliki penghasilan tetap dan pekerjaan yang stabil, saran saya hanya satu, gunakan gaji untuk membeli asset seperti rumah, tanah atau apartemen. Kurangi kongkow, ngupi-ngupi mahal di kafe terkenal, kegiatan ini memang menyenangkan tapi tidak sehat bagi financial kita ketika usia makin menua. Jangan terlalu fokus dengan mengoleksi aneka pakaian, tas atau sepatu demi penampilan, mode atau trend. Jikalau harus membeli sepatu, tas atau pakaian, belilah sekalian yang berkulitas, harganya memang lebih mahal tapi tahan lama dan modelnya biasanya lebih ever lasting. Ada seorang teman saya dari Swedia pernah berkata, “Di Eropa, hanya orang kaya yang membeli produk berharga murah dan mudah rusak, dan hanya orang miskin yang membeli produk berkualitas atau branded karena tahan lama sehingga tidak sering berbelanja.” Hm, saya setuju.
Menuju ke resep. Saya sebenarnya tidak terlalu suka dengan pepes ayam, pernah punya pengalaman tidak mengenakkan ketika menyantapnya di sebuah rumah makan di daerah Bandung. Mungkin karena menggunakan ayam negeri maka aroma dan rasanya sangat amis. Sejak itu setiap kali ingat pepes ayam, perut saya langsung bergolak, mual. Tapi ketika berkunjung ke rumah adik di Mampang, asisten rumah tangganya, Mbak Yati, memasak pepes ayam kampung dengan segambreng bumbu dan kemangi, rasanya maknyus! Adik saya membuat pepes dengan lima ekor ayam kampung sekaligus dan di stok di freezer. Agak terdengar crazy, tapi seluruh anggota keluarganya maniak dengan pepes ayam kampung. Sejak menyantap pepes ayam Mbak Yati, saya jadi keranjingan dengan pepes memepes ayam kampung. Saya suka bumbu yang berlimpah dan banyak kemangi sehingga menggebah aroma amis ayam dan sedap disantap dengan nasi panas. Amboi nikmatnya!
Berikut resep dan prosesnya ya.

Pepes Ayam
Resep modifikasi sendiri
Untuk 6 bungkus
Tertarik dengan resep pepes lainnya? Silahkan klik link di bawah ini:
Bahan:
– 1 ekor ayam kampung/pejantan (berat 800 gram), potong sesuai selera
– 1 ikat kemangi, petik daunnya
– 2 buah tomat merah, iris tipis
– 2 buah cabai merah besar, iris tipis, optional
Bumbu dihaluskan:
– 6 buah cabai merah keriting
– 10 buah cabai rawit merah
– 6 siung bawang merah
– 4 siung bawang putih
– 6 butir kemiri
– 1 batang serai, ambil bagian putihnya saja
– 2 cm jahe
– 2 cm kunyit
Bumbu lainnya:
– 1 1/2 sendok teh garam
– 1 sendok teh kaldu bubuk
– 1/2 sendok makan gula pasir
– 5 lembar daun salam sobek kasar
– 2 lembar daun jeruk purut, rajang halus
– 3 cm lengkuas, iris tipis
Cara membuat:

Siapkan ayam yang sudah dipotong, cuci dan tiriskan. Masukkan ke mangkuk. Sisihkan.
Masukkan semua bumbu halus dan bumbu lainnya ke mangkuk, aduk rata. Tambahkan tomat, kemangi dan cabai merah iris, aduk rata. Cicipi rasanya, sesuaikan asinnya. Tuangkan 1/3 bumbu ke mangkuk berisi ayam, aduk hingga bumbu melumuri ayam dengan baik.

Siapkan 2 lembar daun pisang yang sudah dilayukan (jemur atau kukus sebentar) di permukaan meja. Tuangkan sekitar 1 1/2 sendok makan adonan bumbu di permukaan daun. Letakkan ayam, tuangkan lagi 1 1/2 sendok makan bumbu ke atas permukaan ayam. Bungkus daun pisang, dan sematkan ujungnya dengan lidi atau stepler. Lakukan hingga semua ayam dan adonan bumbu habis.
Tata di panci kukusan berisi air. Kukus selama 40 menit atau hingga ayam matang. Keluarkan dari kukusan dan sajikan. Yummy!